Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat Hukum Denny Indrayana menilai pemilik Grup Kresna Michael Steven memanfaatkan statusnya sebagai pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner/UBO) dari PT Kresna Asset Management agar kejahatannya terlindungi.
Sekadar info, pemilik manfaat pada suatu korporasi menurut Peraturan Presiden No. 13/2018 merujuk pada orang perseorangan yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi.
Pemilik manfaat berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi terkait, baik langsung maupun tidak langsung, atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi terkait.
Selain itu, mereka punya kekuatan untuk menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi.
Biasanya, para UBO tidak secara langsung tercantum dalam struktur atau pemegang saham mayoritas di suatu perusahaan grup korporasi, melainkan berada di balik salah satu perusahaan induknya, atau berada di balik suatu perusahaan terafiliasi yang hanya memiliki segelintir saham di korporasi itu.
Oleh sebab itu, setiap orang yang menjadi pemilik manfaat suatu korporasi harus melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Baca Juga
Denny menekankan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Michael Steven pun terbukti sebagai UBO, di mana terbilang modus lama bagi pelaku kejahatan korporasi agar namanya tidak terdeteksi dan sulit tertangkap.
Alhasil, kendati namanya tidak tercantum dalam anggaran dasar tetapi, Michael bisa melakukan serangkaian intervensi atas kontrak pengelolaan dana dari PT Kresna Asset Management untuk melakukan transaksi demi kepentingan Grup Kresna, sehingga merugikan konsumen.
"Memang beneficial owner, mereka tidak mau muncul namanya supaya mereka kalau melakukan kejahatan tidak terdeteksi atau tidak bisa ditangkap. Yang ditangkap nanti namanya di situ supir, orang tidak jelas, atau office boy," ujar Denny dalam keterangannya, Rabu (10/7/2024).
Denny menekankan bahwa untuk menyeret para UBO sebagai pelaku kejahatan korporasi, sebenarnya sudah ada Perpres dan aturan-aturan hukum yang menyatakan bahwa pemilik manfaat harus bertanggung jawab meskipun namanya tidak ada di dalam anggaran dasar.
Namun sayangnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) mengatakan bahwa nama Michael Steven tidak ada di anggaran dasar sehingga dia tidak bertanggung jawab.
"Bahwa dia yang mengatur, mengintervensi investasi saham di mana, modal ditanam ke anak-anak perusahaan afiliasi dia kan, clear dibuktikan oleh OJK. Jadi jangan dikelabui karena sebenarnya dia pemilik manfaat dari transaksi-transaksi yang diselewengkan Michael Steven ini. Jadi mestinya hukum ditegakkan lagi jangan kalah sama buronan," tegasnya.
Lebih jauh, kasus ini terbilang aneh karena meskipun sudah jadi tersangka dan berstatus buronan Bareskrim Polri, tetapi Michael diberikan hak untuk mengajukan gugatan, ajukan banding, dan memenangkan gugatan dan bandingnya terhadap OJK.
"Sepertinya dia nggak berani hadapi hukum pidana, dia gugat perdata, padahal yang dirugikan banyak kepentingan. Nah, OJK sudah melindungi kepentingan masyarakat, tapi malah dikalahkan oleh buron," pungkasnya.
Padahal, dalam UU pencucian uang sudah ada soal pembatasan hak hukum bagi buronan dan Mahkamah Agung juga melarang buronan mengajukan praperadilan. Bahkan dalam konsep-konsep di negara maju dan negara umumnya bahwa seseorang yang mau mengambil langkah hukum mereka harus taat hukum.
"Ini dia [Michael Steven] gugat ke PTUN, dianya malah lari jadi buronan. Kalau dalam konteks atau istilahnya, ini fugitive disentitlement, artinya harus dihilangkan hak-hak hukumnya karena dia buron," tutupnya.
Sementara itu, terkait sanksi denda sebesar Rp5,7 miliar dan larangan sebagai pemegang saham, pengurus, dan/atau pegawai di Lembaga Jasa Keuangan bidang Pasar Modal selama lima tahun yang dijatuhi OJK, menurut Denny sudah tepat dan seharusnya sudah bisa mengarah ke perkara pidana.